Selamat datang kembali di Catatan tengah Pulau…
Di Catatan tengah Pulau edisi ini, aku akan bercerita sedikit tentang hal yang berbeda di lingkungan sekolah. Di beberapa edisi catatan sebelumnya aku pernah bercerita kalau murid-murid laki-laki tinggal di asrama sekolah. Bagaimana dengan para murid perempuan? Mereka tinggal di rumah mereka, atau di rumah orang tua asuh bagi mereka yang berasal dari pulau lain. Konfigurasi tersebut terjadi di waktu-waktu normal. Di weekend yang lalu, situasi menjadi berbeda. Para murid perempuan mengambil alih komplek sekolah untuk tiga hari dua malam. Kegiatan tersebut dinamai “girls gathering”.
Situasi yang Lain
Weekend di sekolah terasa berbeda. Jumat sore, para bocah laki-laki yang biasa berisik, “ditendang” keluar. Mereka semua diminta (sedikit dipaksa) untuk meninggalkan kompleks. Di sisi lain, ciwi-ciwi yang bisanya pergi, kali ini menjadi pihak yang menguasai. Tentu, bisa dibayangkan bagaimana reaksi mereka. Tak perlu diperjelas, mereka sangat senang. Mereka yang biasa “diusir” sekarang menjadi pihak yang “mengusir”.
Situasi ini menjadi lain. Biasanya sekolah dihiasi dengan suara dentuman bola basket. Juga dihiasi dengan teriakan keras para bocah tanggung. Di weekend tersebut sekolah dihiasi dengan suara sopran yang melengking. Saat misa pagi pun suasana berbeda. Biasanya misa diiringi suara laki-laki bernyanyi yang terlalu rendah sehinga aku tidak bisa mengikuti. Di akhir pekan ini yang mengiringi adalah suara melengking yang terlalu tinggi sehingga juga sulit untuk diikuti. Situasi ini agak terasa aneh, tidak biasa, tapi aku menikmatinya. Sebuah situasi berbeda yang cukup lain dan segar. Setidaknya ada sesuatu yang lain daripada biasanya, yang bisa mengatasi kejenuhan yang mungkin timbul.
Pesta Kelapa Muda
Di sore itu, kami para guru dan staff berkumpul di lapangan. Kumpul-kumpul itu berjalan natural tanpa rencana. Kami pun saling ngobrol dan bercanda. Satu ide yang tiba-tiba terlintas di kepala seseorang (bisa lah ditebak kira-kira orangnya), adalah memetik buah kelapa di pohon sebelah. Ternyata semua setuju dengan ide satu orang itu. Akhirnya, kami pun setuju untuk pesta kelapa muda. Pertanyaannya adalah siapa yang akan memanjat, memetik, dan membuka kelapa? Sudah pasti, tidak lain, tidak bukan, si empunya ide yang melakukannya. Dalam bahasa Jawa seringkali disebut “usul mikul”.
Singkat cerita, di saat kami menikmati kelapa, datanglah ciwi-ciwi pulau itu. Tanpa ragu, mereka meminta hal yang sama sambil sedikit memasang wajah memelas. Alhasil, jadilah orang baik itu naik pohon lagi dan membuka kelapa lagi. Jadilah di senja itu, orang-orang berkumpul dan meminum kelapa muda sambil menikmati matahari tenggelam. Dipenuhi gelak tawa, tak terasa matahari sudah sirna.
Kayu Bakar yang Basah
Salah satu sesi yang dinanti oleh ciwi-ciwi pulau itu adalah api unggun. Tentu untuk sesi ini perlu persiapan. Alhasil ciwi-ciwi itu berkeliling mencari kayu bakar. Mulai dari ranting pohon mangga, blarak, sampai kambil, semua diangkut oleh mereka. Kalau bisa kertas-kertas ujian yang nilainya jelek juga bolehlah dibakar. Akan tetapi, ciwi-ciwi pulau ini lucu sekali. Mereka mengambil kayu-kayu yang sangat besar, tanpa tahu harus bagaimana menggunakannya. Jadilah orang yang buka kelapa tadi harus mengajari mereka cara mencacah kayu. Tidak hanya itu, ciwi-ciwi juga perlu diajari cara menata kayu dan membuat api.
Akan tetapi, sesuatu yang dikhawatirkan justru terjadi. Setelah matahari terbenam, terbitlah awan kelam yang lalu meneteskan air yang membasahi seluruh pulau. Tetesan air hujan itu membuat tetesan air mata jatuh di pipi ciwi-ciwi pulau. Api unggun yang mereka bayangkan sirna sudah. Tak akan ada percikan api, yang ada hanyalah suara gemericik air.
Untungnya bumi masih berputar angin segera membawa hujan itu pergi. Kayu bakar yang basah tetaplah basah, namun untungnya ada bensin yang bisa membantu sedikit untuknya tetap mungkin menyala. Bergembiralah ciwi-ciwi di malam itu. Mereka tetap bisa membakar kertas ujian marshmallow dan menikmatinya. Mereka pun bernyanyi di sekitar api dan berbahagia.
Hujan dan Terang Bulan
Sayangnya malam yang terang tidak berlangsung lama. Air hujan kembali membasahi pulau, walau hanya dalam bentuk rintik ringan. Api unggun pun perlahan mati, tetapi semangat mereka justru makin berapi-api. Hal tersebut kulihat saat aku naik ke atap di malam itu. Di tengah kegelapan, aku naik ke atap ingin melihat bulan. Rintik hujan tidak menghalangi sama sekali, hanya lebih membuat hati-hati. Aku belum siap mati di sini.
Bulan yang indah pun tampak jelas di antara awan gelap yang ingin segera menutupinya. Bergegas aku mengambil smartphone ku dan mengambil gambar. Di saat mengambil gambar tersebut, kudengar suara tertawa melengking di malam yang belap. Aku bertanya dalam hati, “Dari mana suara itu berasal? Apakah kuntilanak juga ada di pulau ini?” Aku pun melihat ke kanan, kiri, depan, dan belakang, aku tidak menemukan apapun. Jawaban kutemukan ketika aku menengok ke bawah. Ternyata “suara kuntilanak” itu berasal dari ciwi-ciwi pulau yang sedang berlarian di lapangan. Mereka berlari di tengah gelap, sambil menikmati hujan, dan mengandalkan sedikit terang dari bulan. Sebenarnya aku bingung, bagaimana mereka dapat menaklukan gelap dan dinginnya malam itu. Rupanya, kebahagiaan mereka cukup untuk menerangi dan mengangatkan hati.
Penutup
Akhir pekan ini berbeda, namun menyenangkan. Rahasia umum yang diketahui banyak orang, murid laki-laki biasanya lebih brutal dan membuat pusing kepala. Hal tersebut benar. Oleh karena itu, rehat dari mereka dan mengurusi ciwi-ciwi adalah selingan yang menarik. Akan tetapi, rupanya hal tersebut memiliki kesusahannya sendiri. Contohnya, berpatroli di tengah malam memastikan mereka sungguh aman. Namun, akhir kata aku bisa mengatakan bahwa aku cukup menikmatinya.
Sampai jumpa!